Dari: Dr. Abdul Mu'id Nawawi, MA
Terus
terang LAPER adalah nama yang agak lebay. Terasa ada narsisme di sana. Parahnya
lagi nama itu tidak menyediakan ruang kekerenan sama sekali; tidak ada kesan
wah yang memaksa kita berteriak WOW. Siapa pun yang mendengar nama itu sangat
mungkin akan menduga bahwa ini pasti kerjaan mahasiwa, namun bisa dipastikan
mereka tidak akan pernah terbayang itu adalah nama sebuah kelompok studi yang
berisikan mahasiswa yang sedang merajut cita-cita besar lewat benang-benang
angan yang mereka tarik jauh dari rumah masing-masing.
Pertama
kali mendengar nama LAPER, saya sebenarnya sangat ingin meminta nama itu
diganti saja dengan nama lain yang menurut saya “lebih baik”. Namun saya
tersadar bahwa mengganti nama pertama sama saja dengan menggugat orisinalitas.
Saya begitu yakin bahwa nama itu muncul dari lubuk kejujuran (juga keluguan),
kebersahajaan, dan juga cita-cita besar. Jika saya mengusulkan menggantinya
maka saya seperti sedang mencoba menggerus kejujuran, kebersahajaan, dan
cita-cita besar yang menjadi kawah tempat ide-ide itu dirajut. Saya tidak ingin
ada orisinalitas yang terhapus dari sejarah hanya karena persoalan nama.
Sejak
pertama kali berjumpa dengan kawan-kawan yang melahirkan LAPER ini di semester
satu tahun 2011, saya sudah merasakan ada energi dahsyat yang terpendam di
balik tatapan mereka yang sayu, dandanan mereka yang lugu (juga lucu), dan cara
bertanya mereka yang menggigit; untuk tidak mengatakan mengoyak. Di antara
mereka memang ada yang kurang ajar, tetapi saya maklum, toh mereka (ketika itu)
masih semester satu yang tentunya masih sangat kurang belajar. Mungkin lebih
tepat mengatakan mereka lugu dari pada kurang ajar.
Buletin
LAPER bukanlah sebuah langkah biasa. Ia langkah raksasa. Ia melampaui zamannya.
Dan sebagaimana jamaknya segala yang melampaui zaman, maka akan ia akan sering
disebut kegokilan atau mungkin, kegilaan. Konsekuensi sosial dari kegilaan
adalah kesendirian dan kesunyian. Saya yakin LAPER akan merasakan kesendirian
dan kesunyian dalam waktu yang cukup lama, dan itu menyiksa. Kesendirian dan
kesunyian itu akan semakin mendera ketika edisi-edisi selanjutnya harus terbit
ketika semangat sudah mulai meredup, ide menemui keremangan, dan jari-jemari
sudah mulai lelah membangun kalimat. Dana untuk cetak pun semakin cekak.
Namun,
wahai kawan-kawan yang LAPER. Sadarilah bahwa di situlah perjuangan sebenarnya.
Saya tidak ingin energi dahsyat yang dulu nyalanya menerangi jalan kritis dan
membuat dunia terasa kecil itu sirna hanya karena ganjalan kerikil-kerikil yang
membuat galau. Milan Kundera pernah berkata: “Manusia berfikir dan Tuhan pun
tertawa.” Tugas kita kini adalah membuat Tuhan terus-menerus tertawa karena
karena kita tidak putus-putus berfikir kreatif dan berkarya. Kita hanya bisa
berharap itu berarti Tuhan tertawa senang, bukan tertawa mengejek. Selamat
berjuang…