Muhammad Bukan Boneka Tuhan
(Integritas Sang Nabi Sebagai Manusia dan Pemimpin Umat)
Oleh: Ayatullah Muntadzor*
Ketika Sayyidah Aisyah ditanya tentang pribadi Rasulullah SAW.
Beliau menjawab “Kaana Khuluquhu Al-Qur’an”, Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Ketika
Sejarah ditanya tentang pribadi beliau, sejarah mencatat Muhammad adalah
seorang yang sangat jujur sehingga masyarakat ketika itu memberinya gelar Al-Amien
(orang yang dapat dipercaya). Bahkan Al-Qur’an pun membenarkannya melalui surat
An-Najm ayat 3-4:
“ dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
Begitulah betapa indahnya sosok seorang
Muhammad, setiap orang pasti terpesona ketika melihat penjelasan-penjelasan
Al-Qur’an, hadits dan sejarah dalam menggambarkan kesempurnaan pribadi seorang
Muhammad sebagai seorang manusia, nabi ataupun sebagai pemimpin ummat. Namun
dibalik semua kesempurnaan itu ternyata ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa semua itu adalah hal yang wajar
bagi seorang Muhammad, karena Ia dikenal sebagai nabi yang Ma’shum, segala tindakan ataupun ucapannya senantiasa
dijaga oleh Tuhan, sehingga wajar apabila Muhammad tidak bisa berbohong, karena
segala yang diucapkannya adalah bentuk interprentasi dari wahyu Tuhan.
Kalau seandainya
memang begitu adanya, timbul sebuah pertanyaan, apakah Muahmmad boneka Tuhan?
apa bedanya ia dengan kaum Jabariyah? Yang berpendapat bahwa semua perbuatan
manusia adalah murni atas kehendak Tuhan, tanpa adanya campur tangan kehendak
manusia itu sendiri. Hal ini perlu diluruskan agar tidak mengurangi bahkan
merusak keimanan ummat islam terhadap Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang nabi
dan juga sebagai seorang manusia biasa. Coba perhatikan QS. Al-Furqan ayat 7
dan ayat 20:
“...dan mereka berkata: "Mengapa Rasul
itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan
kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-
sama dengan dia?,”
“ …dan
Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu
cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu
Maha melihat.”
Ayat
di atas mengindikasikan sisi lain Nabi Muhammad, sebagai apapun dia, tetaplah seorang
manusia biasa, dia makan, minum, pergi ke pasar berdagang, dan lain sebagainya.
Namun sebagai manusia ia adalah seorang manusia dengan kepribadian yang sangat
luar biasa, ia adalah sosok yang sangat kuat baik pada masa kecil, dewasa,
bahkan sampai wafatnya menunjukkan sikap yang sangat kuat dan teguh pendirian (istiqamah).
Sejak awal beliau tidak terpengaruh oleh kondisi masyarakat di sekitar yang
terkenal kebobrokan dan kejahiliahannya, menyembah berhala dan patung. Sejak
kecil ia dikenal sebagai seorang yang sangat jujur sehingga digelar Al-Amien
“orang yang sangat dipercaya”. Kepribadian yang kuat dan akhlak terpuji inilah
yang memebuatnya pantas untuk dipilih oleh Allah menjadi seorang nabi dan
pemimpin ummat. Sehingga istilah ma’shum bukan merupakan tindakan diktator
tuhan terhadapnya, melainkan sebuah peran Tuhan dalam menjaga kepribadian dan kredibilitasnya
sebagai seorang nabi dan pemimpin ummat agar eksis dalam menjalankan misinya
menyampaikan ajaran Allah demi kebaikan umat manusia. QS. Al-Anbiya’ ayat 107:
“… dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.”
Apakah Muhammad tidak pernah salah? Tentu pernah, hal ini
tercermin dalam teguran Allah
dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau
melayani orang buta
yang datang meminta untuk
belajar pada saat
Nabi Muhammad SAW. sedang melakukan pembicaraan
dengan tokoh-tokoh kaum
musyrik di Makkah. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa ma’shum bukan merupan
tindakan diktator Tuhan menyetir dan mengendalikan segala tindakan sang nabi,
melainkan sebuah peran Tuhan dalam menegur dan menjaga utusanNya dalam menyampaikan
keotentikan risalah yang dibawanya
Dalam suatu penelitian terhadap
seratus tokoh berpengaruh di dunia, Muhammad diakui sebagai seorang tokoh yang
paling berpengaruh dan menduduki rangking pertama. Ketinggian itu dilihat dari
berbagai perspektif, seperti sudut kepribadian, jasa-jasa dan prestasi beliau
menyebarkan ajaran Islam dalam waktu yang relatif singkat. Kesuksesan beliau
dalam berbagai bidang merupakan dimensi lain kemampuan sebagai leader
dan manajer yang menambah keyakinan akan kebenaran Rasul. Dikatakan leader
karena beliau selalu tampil di muka, menampilkan keteladanan, dan kharisma
sehingga mampu mengarahkan, membimbing dan menjadi panutan. Dikatakan manajer
karena beliau pandai mengatur pekerjaan, bekerja sama dengan baik, melakukan
perencanaan, memimpin dan mengendalikannya untuk mencapai sasaran.
Umat Islam memandang Nabi Muhammad
bukan hanya sebagai pembawa agama terakhir ataupun sebagai pemimpin spiritual,
tetapi sebagai pemimpin umat, pemimpin agama, pemimpin negara, komandan perang,
suami yang adil, ayah yang bijak sekaligus pemimpin dunia. Peran yang sangat
komplek ini telah diperankan dengan baik oleh Nabi Muhammad, sehingga ia pantas
menjadi panutan ummat manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
.