Latest Post
22.46
Muhammad Bukan Boneka Tuhan
Muhammad Bukan Boneka Tuhan
(Integritas Sang Nabi Sebagai Manusia dan Pemimpin Umat)
Oleh: Ayatullah Muntadzor*
Ketika Sayyidah Aisyah ditanya tentang pribadi Rasulullah SAW.
Beliau menjawab “Kaana Khuluquhu Al-Qur’an”, Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Ketika
Sejarah ditanya tentang pribadi beliau, sejarah mencatat Muhammad adalah
seorang yang sangat jujur sehingga masyarakat ketika itu memberinya gelar Al-Amien
(orang yang dapat dipercaya). Bahkan Al-Qur’an pun membenarkannya melalui surat
An-Najm ayat 3-4:
“ dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”
Begitulah betapa indahnya sosok seorang
Muhammad, setiap orang pasti terpesona ketika melihat penjelasan-penjelasan
Al-Qur’an, hadits dan sejarah dalam menggambarkan kesempurnaan pribadi seorang
Muhammad sebagai seorang manusia, nabi ataupun sebagai pemimpin ummat. Namun
dibalik semua kesempurnaan itu ternyata ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa semua itu adalah hal yang wajar
bagi seorang Muhammad, karena Ia dikenal sebagai nabi yang Ma’shum, segala tindakan ataupun ucapannya senantiasa
dijaga oleh Tuhan, sehingga wajar apabila Muhammad tidak bisa berbohong, karena
segala yang diucapkannya adalah bentuk interprentasi dari wahyu Tuhan.
Kalau seandainya
memang begitu adanya, timbul sebuah pertanyaan, apakah Muahmmad boneka Tuhan?
apa bedanya ia dengan kaum Jabariyah? Yang berpendapat bahwa semua perbuatan
manusia adalah murni atas kehendak Tuhan, tanpa adanya campur tangan kehendak
manusia itu sendiri. Hal ini perlu diluruskan agar tidak mengurangi bahkan
merusak keimanan ummat islam terhadap Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang nabi
dan juga sebagai seorang manusia biasa. Coba perhatikan QS. Al-Furqan ayat 7
dan ayat 20:
“...dan mereka berkata: "Mengapa Rasul
itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan
kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-
sama dengan dia?,”
“ …dan
Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu
cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu
Maha melihat.”
Ayat
di atas mengindikasikan sisi lain Nabi Muhammad, sebagai apapun dia, tetaplah seorang
manusia biasa, dia makan, minum, pergi ke pasar berdagang, dan lain sebagainya.
Namun sebagai manusia ia adalah seorang manusia dengan kepribadian yang sangat
luar biasa, ia adalah sosok yang sangat kuat baik pada masa kecil, dewasa,
bahkan sampai wafatnya menunjukkan sikap yang sangat kuat dan teguh pendirian (istiqamah).
Sejak awal beliau tidak terpengaruh oleh kondisi masyarakat di sekitar yang
terkenal kebobrokan dan kejahiliahannya, menyembah berhala dan patung. Sejak
kecil ia dikenal sebagai seorang yang sangat jujur sehingga digelar Al-Amien
“orang yang sangat dipercaya”. Kepribadian yang kuat dan akhlak terpuji inilah
yang memebuatnya pantas untuk dipilih oleh Allah menjadi seorang nabi dan
pemimpin ummat. Sehingga istilah ma’shum bukan merupakan tindakan diktator
tuhan terhadapnya, melainkan sebuah peran Tuhan dalam menjaga kepribadian dan kredibilitasnya
sebagai seorang nabi dan pemimpin ummat agar eksis dalam menjalankan misinya
menyampaikan ajaran Allah demi kebaikan umat manusia. QS. Al-Anbiya’ ayat 107:
“… dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.”
Apakah Muhammad tidak pernah salah? Tentu pernah, hal ini
tercermin dalam teguran Allah
dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau
melayani orang buta
yang datang meminta untuk
belajar pada saat
Nabi Muhammad SAW. sedang melakukan pembicaraan
dengan tokoh-tokoh kaum
musyrik di Makkah. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa ma’shum bukan merupan
tindakan diktator Tuhan menyetir dan mengendalikan segala tindakan sang nabi,
melainkan sebuah peran Tuhan dalam menegur dan menjaga utusanNya dalam menyampaikan
keotentikan risalah yang dibawanya
Dalam suatu penelitian terhadap
seratus tokoh berpengaruh di dunia, Muhammad diakui sebagai seorang tokoh yang
paling berpengaruh dan menduduki rangking pertama. Ketinggian itu dilihat dari
berbagai perspektif, seperti sudut kepribadian, jasa-jasa dan prestasi beliau
menyebarkan ajaran Islam dalam waktu yang relatif singkat. Kesuksesan beliau
dalam berbagai bidang merupakan dimensi lain kemampuan sebagai leader
dan manajer yang menambah keyakinan akan kebenaran Rasul. Dikatakan leader
karena beliau selalu tampil di muka, menampilkan keteladanan, dan kharisma
sehingga mampu mengarahkan, membimbing dan menjadi panutan. Dikatakan manajer
karena beliau pandai mengatur pekerjaan, bekerja sama dengan baik, melakukan
perencanaan, memimpin dan mengendalikannya untuk mencapai sasaran.
Umat Islam memandang Nabi Muhammad
bukan hanya sebagai pembawa agama terakhir ataupun sebagai pemimpin spiritual,
tetapi sebagai pemimpin umat, pemimpin agama, pemimpin negara, komandan perang,
suami yang adil, ayah yang bijak sekaligus pemimpin dunia. Peran yang sangat
komplek ini telah diperankan dengan baik oleh Nabi Muhammad, sehingga ia pantas
menjadi panutan ummat manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
.
22.36
Balada LAPER
Dari: Dr. Abdul Mu'id Nawawi, MA
Terus
terang LAPER adalah nama yang agak lebay. Terasa ada narsisme di sana. Parahnya
lagi nama itu tidak menyediakan ruang kekerenan sama sekali; tidak ada kesan
wah yang memaksa kita berteriak WOW. Siapa pun yang mendengar nama itu sangat
mungkin akan menduga bahwa ini pasti kerjaan mahasiwa, namun bisa dipastikan
mereka tidak akan pernah terbayang itu adalah nama sebuah kelompok studi yang
berisikan mahasiswa yang sedang merajut cita-cita besar lewat benang-benang
angan yang mereka tarik jauh dari rumah masing-masing.
Pertama
kali mendengar nama LAPER, saya sebenarnya sangat ingin meminta nama itu
diganti saja dengan nama lain yang menurut saya “lebih baik”. Namun saya
tersadar bahwa mengganti nama pertama sama saja dengan menggugat orisinalitas.
Saya begitu yakin bahwa nama itu muncul dari lubuk kejujuran (juga keluguan),
kebersahajaan, dan juga cita-cita besar. Jika saya mengusulkan menggantinya
maka saya seperti sedang mencoba menggerus kejujuran, kebersahajaan, dan
cita-cita besar yang menjadi kawah tempat ide-ide itu dirajut. Saya tidak ingin
ada orisinalitas yang terhapus dari sejarah hanya karena persoalan nama.
Sejak
pertama kali berjumpa dengan kawan-kawan yang melahirkan LAPER ini di semester
satu tahun 2011, saya sudah merasakan ada energi dahsyat yang terpendam di
balik tatapan mereka yang sayu, dandanan mereka yang lugu (juga lucu), dan cara
bertanya mereka yang menggigit; untuk tidak mengatakan mengoyak. Di antara
mereka memang ada yang kurang ajar, tetapi saya maklum, toh mereka (ketika itu)
masih semester satu yang tentunya masih sangat kurang belajar. Mungkin lebih
tepat mengatakan mereka lugu dari pada kurang ajar.
Buletin
LAPER bukanlah sebuah langkah biasa. Ia langkah raksasa. Ia melampaui zamannya.
Dan sebagaimana jamaknya segala yang melampaui zaman, maka akan ia akan sering
disebut kegokilan atau mungkin, kegilaan. Konsekuensi sosial dari kegilaan
adalah kesendirian dan kesunyian. Saya yakin LAPER akan merasakan kesendirian
dan kesunyian dalam waktu yang cukup lama, dan itu menyiksa. Kesendirian dan
kesunyian itu akan semakin mendera ketika edisi-edisi selanjutnya harus terbit
ketika semangat sudah mulai meredup, ide menemui keremangan, dan jari-jemari
sudah mulai lelah membangun kalimat. Dana untuk cetak pun semakin cekak.
Namun,
wahai kawan-kawan yang LAPER. Sadarilah bahwa di situlah perjuangan sebenarnya.
Saya tidak ingin energi dahsyat yang dulu nyalanya menerangi jalan kritis dan
membuat dunia terasa kecil itu sirna hanya karena ganjalan kerikil-kerikil yang
membuat galau. Milan Kundera pernah berkata: “Manusia berfikir dan Tuhan pun
tertawa.” Tugas kita kini adalah membuat Tuhan terus-menerus tertawa karena
karena kita tidak putus-putus berfikir kreatif dan berkarya. Kita hanya bisa
berharap itu berarti Tuhan tertawa senang, bukan tertawa mengejek. Selamat
berjuang…
21.57
Menyikapi Korelasi Agama Dan Budaya
Wawancara dengan Dr. Ali Nurdin MA
Untuk
lebih mengenal esensi budaya dan agama, maka kunci utama agar lebih dulu
mengenali posisi masing-masing. Agama itu diturunkan Tuhan untuk makhluknya,
manusia khususnya. Kemudian diimplementasikan oleh manusia. Sedangkan budaya
itu ekspresi yang dihasilkan dari karya cipta manusia. Jika digabungkan, itu
artinya ekspresi-ekspresi agama merupakan bagian dari budaya. Misalkan
membangun masjid adalah syariat. Namun bentuk masjidnya sendiri adalah budaya.
Maka, itu harus diposisikan masing-masing. Secara luas memang dalam agama ada
unsur budaya. Dan, ada beberapa pandangan sosiolog yang menganggap bahwa dalam
agama terdapat bagian dari unsur budaya. Tetapi kalau Islam mungkin tidak seperti
itu.
Menurut Dr. Ali Nurdin, perkembangan
agama bisa saja saling mengiringi dengan budaya. Karena, agama itu berkembang
pada komunitas masyarakat yang memiliki budaya. Kemudian ada nilai-nilai agama
yang dapat diadaptasi dengan budaya tersebut, saat masyarakat dapat menerima
agama ke-dalam budaya mereka. Namun, tidak semua budaya itu bisa sinkron dengan
agama. Seperti saat rasullulah membawa Islam, misi Islam sangat bertentangan
dengan budaya Arab pada saat itu. Maka, problematika antar agama dan budaya
harus dipilah-pilah.
Beliau juga menghimbau bahwa dalam agama ada yang berupa doktrin,
atau keyakinan yang bernilai politis. Namun dalam Islam, hal seperti itu tidak
ada. Maka, jika agama ingin dapat diterima
secara universal, maka agama harus memiliki nilai yang universal pula.
Misalkan yang mendominasi dari nilai demikian pada aspek akhlak, atau perilaku
sosial. Sehingga mampu menerapkan kejujuran, kasih sayang dan perdamaian.
Ketiganya itu bisa dikategorikan sebagai bentuk nilai agama yang bersifat univesal. Jadi, agama disamping
memiliki dogma yang diyakini benar oleh pemeluknya masing-masing, juga yang terpenting adalah pemeluknya harus
menunjukkan perilaku yang baik. Maka hal itu yang dapat diterima.
Melakukan
Revolusi atau Dalam Sistim Agama
Kedatangan
agama biasanya cenderung mendongkrak kepercayaan masyarakat yang telah ada. Sebab,
kepercayaan yang telah menjadi latar belakang mereka sangat jauh dari apa yang
dimasksudkan dengan agama itu sendiri. Maka, untuk memperkembangkan agama agar
dapat diterima oleh masyarakat luas, mau tidak mau mekanisme agama harus
menggunakan jalan demokrasi diamana ada auturan-aturan yang dapat disepakati
bersama, baik melalui politik, parlemen, atau pemilihan umum. Jadi, disana ada
aturan-aturan yang disepakati.
Dosen dan yang menjabat sebagai purek II PTIQ ini juga menanggapi
dengan adanya jargon agama yang menyuruh agar memelihara tradisi salaf yang
relevan serta mengambil kemoderenan yang lebih relevan. Menurut beliau,
statemen seperti itu merupakan bentuk ekspresi prisnsip yang sangat bagus.
Karena dalam redaksi tersebut mengajarkan pada kita bahwa merubah nilai yang
lama itu tidak selamanya baik. Artinya nilai-nilai lama yang baik, yang masih
relevan, kontekstual untuk saat ini harus kita pertahankan. Namun, kita juga tidak
saklek dengan nilai-nilai yang baru. Jadi gunanya basic itu mangajarkan
kita agar transparansi dan egaliter untuk menyikapi kehadiran nilai baru.
Jikapun ada, dan itu lebih baik daripada yang lama, maka harus kita ambil.
21.51
Syariat Meleburnya Es
Oleh: Mohammad
Syamsul Hadi*
Aku
tak tahu, setelah musafirku ke makam-makam awliya’ membuat jantungku
berdetak kencang dan bulu kudukku berdiri kaku. Seolah mataku tertunduk tidak kuat melihat
karisma dari nur yang terpancar dari seorang kiyai yang sering aku jumpai. “Apakah ini nikmat, ataukah cobaan berbentuk istidraj?” Aku tak tahu. Cuma saja, hanya kepada
kiyai tertentu aku bertindak seperti ini. Malahan, ketika aku berhadapan dengan kiyai
yang hanya kerjanya saja sebagai kiyai. Akan tetapi laku hidupnya tidak
mencerminkan dirinya pewaris Nabi. Aku bisa mencium bau anyir dari tubuhnya,
dan aku bisa melihat mukanya gosong seperti terbakar di atas tungku pembakaran
sate. Anehnya lagi, ketika aku benar-benar berhadapan dengan seorang pekerja
kasar seperti petani, tukang batu, sopir angkot, penjual es keliling, kadang
wajahku berkerut merasa takjub. Apa amal ibadah mereka, sehingga aku melihat
wajah mereka nyaris tak ada celah noda hitam seperti kulit mereka yang hitam
berkilauan karena saking seringnya tertimpa sinar matahari. Tetapi yang nampak malah cahaya teduh, bau yang semerbak harum. “Ah, apakah mataku yang sudah merabun? Ataukah penciumanku yang sudah rusak? Buktinya
tidak semua mereka yang kulihat seperti yang kurasa.”
Sempat
aku berpikir, mungkin ini nikmat yang diberikan Allah swt untukku karena laku
tirakatku selama musafir di makam-makam awliya’. Tetapi semua menjadi
berubah, ketika aku berjumpa dengan seorang kuli bangunan di daerah Jembatan
Lima. Dia seorang tukang batu, perantauan dari kampung daerah pesisir utara
pulau Sumatera. Umurnya yang sudah tua. Mungkin dalam hatiku berkata kalau umurnya baru sekitar setengah abad. Tetapi dugaanku itu
terbantahkan ketika aku tahu dari temannya kalau beliau sudah 70-an tahun bahkan
lebih. Karena pernah SatPol PP, menggusur daerah kontrakan mereka di daerah
Jembatan Lima, kemudian mengidentifikasi mereka satu per-satu, termasuk
menanyakan masalah umur. Hatiku sering gundah ketika diriku berdampingan dengan Pak Tua tadi. Tidak tahu perasaan apa ini? Karena selama berdekatan dengan beliau, kemampuan penglihatan dan
penciumanku tak berdaya. Bahkan kadang malah aku mencium bau anyir itu keluar
dari bau tubuhku sendiri.
“Lindu,
kenapa kamu bisa nyasar sampai ke sini?.”
Tanya Pak Tua itu sambil berdiri tegak di sampingku. Waktu itu cuaca sudah
menunjukkan waktu sore. Aku hanya
terpaku, karena aku tak tahu kenapa dari pagi sampai sore itu Pak Tua tidak bekerja di proyek
bangunan seperti biasanya. Malahan pak Tua
itu hanya diam diri di kamarnya, sampai dia memanggilku dan dengan
tutur kata yang halus dia menanyaiku.
“Kamu
tahu Lindu, sebenarnya ini bukan tempat kamu. Kamu tidak layak tinggal di sini.
Ini tempatnya manusia seperti aku, bukan yang seperti kamu.”
Statement pak Tua membuat mataku merah. Seakan hatiku tak terima dikatakan seperti itu. Apakah aku bukan manusia seperti
dia? kenapa aku tidak layak tinggal seperti mereka? Ah..
aku mencoba menahan emosi mudaku untuk mengetahui maksud yang ingin disampaikan
pak Tua padaku.
“Kamu
harus enyah dari sini Lindu. Kedatanganmu di sini justru akan mendatangkan madlarat bagi mereka, dan tidak sama sekali membuat kemanfaatan bagi
mereka.”
“Apa-apaan ini?” Memoar
amarahku dalam hati. Kemarahanku seakan sudah muntup-muntup sampai di ubun-ubun. Ingin segera meledak. Tapi, aku mencoba bersabar untuk tahu apa maksud dari perkataannya.
“Mulai
nanti lepas maghrib, kamu harus pergi dari sini. Tidak usah pamitan sama yang
lain, malah menambah kemadlaratan untuk mereka nantinya. Kamu pergi, dan temui
pengemis yang sering mangkal di pojokan terminal Lebak Bulus, yang berada di sebelah utara, malam ini. Sampaikan salamku,
dan berikan surat ini kepada dia.”
Begitu kata pak tua itu sambil mengacungkan selembar kertas putih berisi surat
yang dibungkusnya rapat-rapat. Aku pun hanya berdiam. Dia berlahan
mendekatiku, dan membuang surat itu di hadapanku. Kemudian dia berjalan dan
menghilang di kegelapan malam. Sepatah kata pun tidak terucap dari bibirku,
padahal amarahku memuncak, tetapi lidahku kelu oleh karisma suaranya.
***
Hujan
lebat mengguyurku saat aku menyusuri jalanan kota metropolitan, bak seorang
gelandangan, bajuku yang compang-camping dan rambutku yang lusuh, serta tapak
kakiku yang tanpa alas membuat setiap orang yang bersitatap denganku bermuka
sinis kepadaku. Dan memandang
kotor diriku. Seolah merekalah manusia yang paling suci di dunia ini. Kadang wajah mereka
mengisyaratkan kepura-puraan, dengan baju yang serba putih, naik mobil mewah,
tapi wajahnya hitam dan busuk seperti bangkai. Ah… masa bodoh dengan mereka.. Toh, jalan
mereka berbeda dengan aku.
Sampailah
aku di terminal Lebak Bulus. Tatapanku
langsung mengintai setiap sudut terminal yang
dipenuhi gemuruh suara bus. Tubuhku terasa lesu. Ditambah hujan deras yang tak henti-hentinya. Kutemukan banyak sosok dalam kegelapan di bawah halte
busway. Mungkinkah dia? Astaghfirullahal ‘adzim. Aku tak percaya, dari
jauh sini saja aku mencium semerbak bau anyir dari tubuhnya. Aku mulai
mendekat, masya Allah. Bencong. Gerombolan pengemis bencong.. Plakk..
Seakan tertampar mukaku. Susah payah aku berjalan menyusuri kota metropolitan,
diguyur hujan deras, terseok-seok karena lesu tubuh. Ternyata dari bencong itu, yang jelas-jelas aku mencium bau anyir. Kenapa dia malah menjadi tujuanku? Umpatan-umpatan aku lontarkan sebagai wujud kekesalanku. “Bajigur, diancuk, setan alas.”
Aku
tidak percaya begitu saja dengan dugaanku kalau dia adalah orang yang aku cari.
Aku sisir semua tempat di setiap sudut terminal. Tidak aku temukan satu-pun
pengemis, kecuali para pengemis bencong tadi. “Ah, hatiku masih dilanda gundah untuk
menjustifikasi kalau salah satu dari gerombolan pengemis bencong itulah yang
aku cari. Langkahku pelan berusaha mendekat, karena ragu menyelimuti hati dan pikiranku.”
Lima
puluh meter dari jarak langkah kakiku ke gerombolan itu terasa jelas gelak
suara tawa mereka, dan nyanyian-nyanyian yang tidak jelas juntrungnya.
“Apa susahnya jadi bujangan.. Kemana-mana tiada yang larang.. yang penting hatinya
senang.. “ Begitu ref lagu klasik yang aku nyanyikan.
Mungkin
bukan dari salah satu mereka yang menjadi tujuanku, hatiku ragu dan menuntun
langkah kakiku untuk berbalik arah seratus delapan puluh derajat menjauh dari
mereka. Mungkin tidak malam ini aku temukan pengemis yang dimaksud oleh Pak Tua. Boleh jadi besok. Ya, mungkin besok. Tapi baru sejengkal langkah, salah satu
dari mereka memanggilku.
“Hei
Bro.. mau kemane ente? Tugas lom selesai mau kabur aje ente. Ente sok suci, sok
bersih. Ente tuh yang penuh bau anyir, sombong ente, merasa sudah paling dekat
dengan Tuhan. Dikasih nikmat dikit aje, laku lo seenak udelnya menghakimi jelek
setiap orang yang ente cium baunya anyir.”
“Ya Allah, kenapa dia bisa tahu tentang aku. Padahal penampilanku yang aku
tampakkan benar-benar seperti orang gila, yang pastinya orang awam jika
melihatku akan berkata kalau aku lagi jadzab, lagi dimabuk cinta kepada
sang Khalik. Omongan dia menyentak alam bawah sadarku. Terhempas tubuhku,
ketika sepeda motor berlaju
kencang menyrempet, sehingga aku terpental ke selatan dua meter menabrak kios
rokok.
Brukk…
Ah, aku tak tahu setelah itu. Mungkin alamku sudah berubah. Apakah aku sudah mati? karena yang tampak hanyalah padang pasir yang
luas lagi gersang. Tidak ada seorang pun kecuali aku, tapi suara itu aku kenal,
ya suara itu. Si pengemis bencong.. rintihannya beristighfar kepada sang
Khalik. Aku cari dimana arah suaranya.. kutemukan jasadnya dalam keadaan sujud.
“Lindu, kamu harus belajar berhusnuzan kepada setiap makhluk, karena mereka
tercipta oleh takdir Sang Khalik. Laku amalmu akan sia-sia, jika kamu tidak
bersyariat sebagaimana kekasih tercinta-Nya, Nabi ter-agung yang juga bersyariat. Semua
yang di dunia ini masih kamuflase dan belum tampak kesejatiannya, untuk itulah
jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh panca indramu yang bersifat fana.”
Aku terbangun, masya Allah itu tadi suara Pak Tua. Aku
menangis tanpa tahu apa yang aku tangisi, sehingga seseorang datang kepadaku.
“Mas, sudah sadar ya?.. ini mas lagi di asrama kami,
luka-luka luar yang mas derita sudah kami obati. O iya, maaf mas tidak sengaja
saya temukan kertas ini di kantung baju sampeyan.”
Hem, sangat ramah sekali orang itu, di tangan kanannya
memegang mushaf dan kaca mata yang dia lepas ketika berbicara kepadaku.
Anehnya, kemampuan melihat dan menciumku yang seperti biasa tiba-tiba sirna.
Apakah aku seperti manusia yang dulu lagi, tidak bisa melihat sinar atau
kegosongan di wajah makhluk, serta tidak bisa mencium wangi atau busuk dari
badannya.
“Terima kasih ya, pak. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, mas. Itu sudah menjadi tugas kita untuk saling
tolong-menolong.”
Dengan raut wajah tersenyum aku membalas ucapannya.
Perlahan aku membuka surat Pak Tua yang belum sempat aku berikan kepada Sang
Pengemis Bencong yang ahli sujud.
Es adalah
salah satu wujud eksistensi dari Air..
Jika
mencair, Dia melebur menjadi Air..
Wujud
eksistensi Es akan menjadi musnah, karena yang tampak hanyalah Air..
Jangan
salahkan Es yang mencair, kalau dia mengaku menjadi Air..
Karena
segala macam bentuk Es, pasti asalnya dan akhirnya juga menjadi Air..
Tapi
ingat, kebekuan adalah syariatnya menjadi Es, dan janganlah sekali-kali berkata menjadi Air jika tidak benar-benar mencair..
Tubuhku terguncang, dan kembali jatuh tersungkur.. Air
mataku tak terbendung lagi hingga membanjiri
basah bajuku. Kamu
benar Pak Tua..
*Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin Institut
Prguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta Asal Pati Jawa Tengah.
21.34
Menggagas Isu PTIQ Bercabang
Khoirul Anwar*
Pada acara mubes (Musyawarah Besar) yang diadakan oleh dewan BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa) pada tanggal 24 kemarin, menghasilkan beberapa rekomendasi
yang akan diajukan pada pihak Intstitut. Diantaranya, terkait isu yang
sedang membara di telinga mahasiswa dan fresh graduate, yaitu terkait
kabar bahwa PTIQ memiliki beberapa cabang.
Untuk
menyentuh masalah ini, sebenarnya sudah masuk pada pengamatan mahasiswa yang
dimediatori oleh BEM. Tetapi, dari mahasiswa sendiri kurang begitu puas jika
tidak mendapatkan respon sendiri dari pihak yayasan. Ketika pada mubes kemarin,
isu pedas itu mendapat respon dan sekaligus diklarifikasi oleh Dr. Ali Nurdin,
selaku Purek III di PTIQ.
Menurutnya, cabang kampus yang berdiri di beberapa
tempat, seperti di Banten, Ciawi, Palu dan Batam, itu hanya khusus S2, dan S1
yang tarbiyah, serta PGRA dan PGSD. Selain hal itu, sistim pembelajaran juga
diatur sebagaimana yang ditetapkan oleh pihak PTIQ pusat. Tetapi, mereka lebih
ditekankan pada tahsin (Baca al-Quran), bukan tahfiz (Menghafal al-Quran).
Mahasiswa
menyanggah deklarasi yang diberikan oleh purek III. Karena, sebagaimana yang
tertera dalam khittah PTIQ yang sejatinya tidak lain untuk mencetak generasi
penghafal al-Quran, tidak hanya pandai membaca dengan suara bagus. Mahasiswa
juga masih tidak melapangkan dada, jika hal itu masih saja dipelihara. Karena
sama saja tidak menghargai eksistensi mahasiswa pusat yang harus berjuang
mati-matian demi ikut semester.
Kampus
al-Quran yang dipimpin oleh wamenag Prof. Nasarrudin Umar itu, kini sedang
dalam tahap rekomendasi kesepakatan yang melibatkan semua pihak. Karena selama
ini tidak ada batas dan manajemen perkampusan yang jelas dan benar-benar
dianggap klir oleh mahasiswa. Dr. Ali Nurdin berpesan agar mubes ini dijadikan
pelajaran dan pegangan bersama. Sehingga, nantinya tidak ada saling senggol.
Tetapi,
acara mubes kali ini sangat disesalkan oleh mahasiswa. Karena, oknum yang
dianggap memiliki peran penting terkait hal ini tidak menampakkan diri dalam
mubes. Seperti rektor, dekan-dekan fakultas, lembaga tahfiz, dan sivitas
akademika lainnya.
* Mahasiswa Ushuluddin Institut PTIQ
Jakarta