MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir)
Headlines News :

Latest Post

Muhammad Bukan Boneka Tuhan


Muhammad Bukan Boneka Tuhan
(Integritas Sang Nabi Sebagai Manusia dan Pemimpin Umat)
Oleh: Ayatullah Muntadzor*
            Ketika Sayyidah Aisyah ditanya tentang pribadi Rasulullah SAW. Beliau menjawab “Kaana Khuluquhu Al-Qur’an”,  Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Ketika Sejarah ditanya tentang pribadi beliau, sejarah mencatat Muhammad adalah seorang yang sangat jujur sehingga masyarakat ketika itu memberinya gelar Al-Amien (orang yang dapat dipercaya). Bahkan Al-Qur’an pun membenarkannya melalui surat An-Najm ayat 3-4: 
“ dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

              Begitulah betapa indahnya sosok seorang Muhammad, setiap orang pasti terpesona ketika melihat penjelasan-penjelasan Al-Qur’an, hadits dan sejarah dalam menggambarkan kesempurnaan pribadi seorang Muhammad sebagai seorang manusia, nabi ataupun sebagai pemimpin ummat. Namun dibalik semua kesempurnaan itu ternyata ada sebagian orang yang berpendapat bahwa  semua itu adalah hal yang wajar bagi seorang Muhammad, karena Ia dikenal sebagai nabi yang Ma’shum,  segala tindakan ataupun ucapannya senantiasa dijaga oleh Tuhan, sehingga wajar apabila Muhammad tidak bisa berbohong, karena segala yang diucapkannya adalah bentuk interprentasi dari wahyu Tuhan.
            Kalau seandainya memang begitu adanya, timbul sebuah pertanyaan, apakah Muahmmad boneka Tuhan? apa bedanya ia dengan kaum Jabariyah? Yang berpendapat bahwa semua perbuatan manusia adalah murni atas kehendak Tuhan, tanpa adanya campur tangan kehendak manusia itu sendiri. Hal ini perlu diluruskan agar tidak mengurangi bahkan merusak keimanan ummat islam terhadap Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang nabi dan juga sebagai seorang manusia biasa. Coba perhatikan QS. Al-Furqan ayat 7 dan ayat 20:   

“...dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?,”    
“ …dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat.”

Ayat di atas mengindikasikan sisi lain Nabi Muhammad, sebagai apapun dia, tetaplah seorang manusia biasa, dia makan, minum, pergi ke pasar berdagang, dan lain sebagainya. Namun sebagai manusia ia adalah seorang manusia dengan kepribadian yang sangat luar biasa, ia adalah sosok yang sangat kuat baik pada masa kecil, dewasa, bahkan sampai wafatnya menunjukkan sikap yang sangat kuat dan teguh pendirian (istiqamah). Sejak awal beliau tidak terpengaruh oleh kondisi masyarakat di sekitar yang terkenal kebobrokan dan kejahiliahannya, menyembah berhala dan patung. Sejak kecil ia dikenal sebagai seorang yang sangat jujur sehingga digelar Al-Amien “orang yang sangat dipercaya”. Kepribadian yang kuat dan akhlak terpuji inilah yang memebuatnya pantas untuk dipilih oleh Allah menjadi seorang nabi dan pemimpin ummat. Sehingga istilah ma’shum bukan merupakan tindakan diktator tuhan terhadapnya, melainkan sebuah peran Tuhan dalam menjaga kepribadian dan kredibilitasnya sebagai seorang nabi dan pemimpin ummat agar eksis dalam menjalankan misinya menyampaikan ajaran Allah demi kebaikan umat manusia. QS. Al-Anbiya’ ayat 107:   
“… dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

               Apakah Muhammad tidak pernah salah? Tentu pernah, hal ini tercermin dalam  teguran  Allah  dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani  orang  buta  yang datang  meminta  untuk  belajar  pada  saat  Nabi  Muhammad SAW. sedang melakukan  pembicaraan  dengan  tokoh-tokoh  kaum  musyrik  di Makkah. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa ma’shum bukan merupan tindakan diktator Tuhan menyetir dan mengendalikan segala tindakan sang nabi, melainkan sebuah peran Tuhan dalam menegur dan menjaga utusanNya dalam menyampaikan keotentikan risalah yang dibawanya
Dalam suatu penelitian terhadap seratus tokoh berpengaruh di dunia, Muhammad diakui sebagai seorang tokoh yang paling berpengaruh dan menduduki rangking pertama. Ketinggian itu dilihat dari berbagai perspektif, seperti sudut kepribadian, jasa-jasa dan prestasi beliau menyebarkan ajaran Islam dalam waktu yang relatif singkat. Kesuksesan beliau dalam berbagai bidang merupakan dimensi lain kemampuan sebagai leader dan manajer yang menambah keyakinan akan kebenaran Rasul. Dikatakan leader karena beliau selalu tampil di muka, menampilkan keteladanan, dan kharisma sehingga mampu mengarahkan, membimbing dan menjadi panutan. Dikatakan manajer karena beliau pandai mengatur pekerjaan, bekerja sama dengan baik, melakukan perencanaan, memimpin dan mengendalikannya untuk mencapai sasaran.
Umat Islam memandang Nabi Muhammad bukan hanya sebagai pembawa agama terakhir ataupun sebagai pemimpin spiritual, tetapi sebagai pemimpin umat, pemimpin agama, pemimpin negara, komandan perang, suami yang adil, ayah yang bijak sekaligus pemimpin dunia. Peran yang sangat komplek ini telah diperankan dengan baik oleh Nabi Muhammad, sehingga ia pantas menjadi panutan ummat manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 21:
 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”




.




              


Balada LAPER


Dari: Dr. Abdul Mu'id Nawawi, MA

Terus terang LAPER adalah nama yang agak lebay. Terasa ada narsisme di sana. Parahnya lagi nama itu tidak menyediakan ruang kekerenan sama sekali; tidak ada kesan wah yang memaksa kita berteriak WOW. Siapa pun yang mendengar nama itu sangat mungkin akan menduga bahwa ini pasti kerjaan mahasiwa, namun bisa dipastikan mereka tidak akan pernah terbayang itu adalah nama sebuah kelompok studi yang berisikan mahasiswa yang sedang merajut cita-cita besar lewat benang-benang angan yang mereka tarik jauh dari rumah masing-masing.

Pertama kali mendengar nama LAPER, saya sebenarnya sangat ingin meminta nama itu diganti saja dengan nama lain yang menurut saya “lebih baik”. Namun saya tersadar bahwa mengganti nama pertama sama saja dengan menggugat orisinalitas. Saya begitu yakin bahwa nama itu muncul dari lubuk kejujuran (juga keluguan), kebersahajaan, dan juga cita-cita besar. Jika saya mengusulkan menggantinya maka saya seperti sedang mencoba menggerus kejujuran, kebersahajaan, dan cita-cita besar yang menjadi kawah tempat ide-ide itu dirajut. Saya tidak ingin ada orisinalitas yang terhapus dari sejarah hanya karena persoalan nama.

Sejak pertama kali berjumpa dengan kawan-kawan yang melahirkan LAPER ini di semester satu tahun 2011, saya sudah merasakan ada energi dahsyat yang terpendam di balik tatapan mereka yang sayu, dandanan mereka yang lugu (juga lucu), dan cara bertanya mereka yang menggigit; untuk tidak mengatakan mengoyak. Di antara mereka memang ada yang kurang ajar, tetapi saya maklum, toh mereka (ketika itu) masih semester satu yang tentunya masih sangat kurang belajar. Mungkin lebih tepat mengatakan mereka lugu dari pada kurang ajar.

Buletin LAPER bukanlah sebuah langkah biasa. Ia langkah raksasa. Ia melampaui zamannya. Dan sebagaimana jamaknya segala yang melampaui zaman, maka akan ia akan sering disebut kegokilan atau mungkin, kegilaan. Konsekuensi sosial dari kegilaan adalah kesendirian dan kesunyian. Saya yakin LAPER akan merasakan kesendirian dan kesunyian dalam waktu yang cukup lama, dan itu menyiksa. Kesendirian dan kesunyian itu akan semakin mendera ketika edisi-edisi selanjutnya harus terbit ketika semangat sudah mulai meredup, ide menemui keremangan, dan jari-jemari sudah mulai lelah membangun kalimat. Dana untuk cetak pun semakin cekak.

Namun, wahai kawan-kawan yang LAPER. Sadarilah bahwa di situlah perjuangan sebenarnya. Saya tidak ingin energi dahsyat yang dulu nyalanya menerangi jalan kritis dan membuat dunia terasa kecil itu sirna hanya karena ganjalan kerikil-kerikil yang membuat galau. Milan Kundera pernah berkata: “Manusia berfikir dan Tuhan pun tertawa.” Tugas kita kini adalah membuat Tuhan terus-menerus tertawa karena karena kita tidak putus-putus berfikir kreatif dan berkarya. Kita hanya bisa berharap itu berarti Tuhan tertawa senang, bukan tertawa mengejek. Selamat berjuang…


Menyikapi Korelasi Agama Dan Budaya


Wawancara dengan Dr. Ali Nurdin MA

Untuk lebih mengenal esensi budaya dan agama, maka kunci utama agar lebih dulu mengenali posisi masing-masing. Agama itu diturunkan Tuhan untuk makhluknya, manusia khususnya. Kemudian diimplementasikan oleh manusia. Sedangkan budaya itu ekspresi yang dihasilkan dari karya cipta manusia. Jika digabungkan, itu artinya ekspresi-ekspresi agama merupakan bagian dari budaya. Misalkan membangun masjid adalah syariat. Namun bentuk masjidnya sendiri adalah budaya. Maka, itu harus diposisikan masing-masing. Secara luas memang dalam agama ada unsur budaya. Dan, ada beberapa pandangan sosiolog yang menganggap bahwa dalam agama terdapat bagian dari unsur budaya. Tetapi kalau Islam mungkin tidak seperti itu.
 Menurut Dr. Ali Nurdin, perkembangan agama bisa saja saling mengiringi dengan budaya. Karena, agama itu berkembang pada komunitas masyarakat yang memiliki budaya. Kemudian ada nilai-nilai agama yang dapat diadaptasi dengan budaya tersebut, saat masyarakat dapat menerima agama ke-dalam budaya mereka. Namun, tidak semua budaya itu bisa sinkron dengan agama. Seperti saat rasullulah membawa Islam, misi Islam sangat bertentangan dengan budaya Arab pada saat itu. Maka, problematika antar agama dan budaya harus dipilah-pilah.
Beliau juga menghimbau bahwa dalam agama ada yang berupa doktrin, atau keyakinan yang bernilai politis. Namun dalam Islam, hal seperti itu tidak ada. Maka, jika agama ingin dapat diterima  secara universal, maka agama harus memiliki nilai yang universal pula. Misalkan yang mendominasi dari nilai demikian pada aspek akhlak, atau perilaku sosial. Sehingga mampu menerapkan kejujuran, kasih sayang dan perdamaian. Ketiganya itu bisa dikategorikan sebagai bentuk nilai agama  yang bersifat univesal. Jadi, agama disamping memiliki dogma yang diyakini benar oleh pemeluknya masing-masing,  juga yang terpenting adalah pemeluknya harus menunjukkan perilaku yang baik. Maka hal itu yang dapat diterima.
Melakukan Revolusi atau Dalam Sistim Agama
Kedatangan agama biasanya cenderung mendongkrak kepercayaan masyarakat yang telah ada. Sebab, kepercayaan yang telah menjadi latar belakang mereka sangat jauh dari apa yang dimasksudkan dengan agama itu sendiri. Maka, untuk memperkembangkan agama agar dapat diterima oleh masyarakat luas, mau tidak mau mekanisme agama harus menggunakan jalan demokrasi diamana ada auturan-aturan yang dapat disepakati bersama, baik melalui politik, parlemen, atau pemilihan umum. Jadi, disana ada aturan-aturan yang disepakati.

Dosen dan yang menjabat sebagai purek II PTIQ ini juga menanggapi dengan adanya jargon agama yang menyuruh agar memelihara tradisi salaf yang relevan serta mengambil kemoderenan yang lebih relevan. Menurut beliau, statemen seperti itu merupakan bentuk ekspresi prisnsip yang sangat bagus. Karena dalam redaksi tersebut mengajarkan pada kita bahwa merubah nilai yang lama itu tidak selamanya baik. Artinya nilai-nilai lama yang baik, yang masih relevan, kontekstual untuk saat ini harus kita pertahankan. Namun, kita juga tidak saklek dengan nilai-nilai yang baru. Jadi gunanya basic itu mangajarkan kita agar transparansi dan egaliter untuk menyikapi kehadiran nilai baru. Jikapun ada, dan itu lebih baik daripada yang lama, maka harus kita ambil.

Syariat Meleburnya Es


Oleh: Mohammad Syamsul Hadi*

            Aku tak tahu, setelah musafirku ke makam-makam awliya’ membuat jantungku berdetak kencang dan bulu kudukku berdiri kaku. Seolah mataku tertunduk tidak kuat melihat karisma dari nur yang terpancar dari seorang kiyai yang sering aku jumpai. Apakah ini nikmat, ataukah cobaan berbentuk istidraj?” Aku tak tahu. Cuma saja, hanya kepada kiyai tertentu aku bertindak seperti ini. Malahan, ketika aku berhadapan dengan kiyai yang hanya kerjanya saja sebagai kiyai. Akan tetapi laku hidupnya tidak mencerminkan dirinya pewaris Nabi. Aku bisa mencium bau anyir dari tubuhnya, dan aku bisa melihat mukanya gosong seperti terbakar di atas tungku pembakaran sate. Anehnya lagi, ketika aku benar-benar berhadapan dengan seorang pekerja kasar seperti petani, tukang batu, sopir angkot, penjual es keliling, kadang wajahku berkerut merasa takjub. Apa amal ibadah mereka, sehingga aku melihat wajah mereka nyaris tak ada celah noda hitam seperti kulit mereka yang hitam berkilauan karena saking seringnya tertimpa sinar matahari. Tetapi yang nampak malah cahaya teduh, bau yang semerbak harum. Ah, apakah mataku yang sudah merabun? Ataukah penciumanku yang sudah rusak? Buktinya tidak semua mereka yang kulihat seperti yang kurasa.”
            Sempat aku berpikir, mungkin ini nikmat yang diberikan Allah swt untukku karena laku tirakatku selama musafir di makam-makam awliya’. Tetapi semua menjadi berubah, ketika aku berjumpa dengan seorang kuli bangunan di daerah Jembatan Lima. Dia seorang tukang batu, perantauan dari kampung daerah pesisir utara pulau Sumatera. Umurnya yang sudah tua. Mungkin dalam hatiku berkata kalau umurnya baru sekitar setengah abad. Tetapi dugaanku itu terbantahkan ketika aku tahu dari temannya kalau beliau sudah 70-an tahun bahkan lebih. Karena pernah SatPol PP, menggusur daerah kontrakan mereka di daerah Jembatan Lima, kemudian mengidentifikasi mereka satu per-satu, termasuk menanyakan masalah umur. Hatiku sering gundah ketika diriku berdampingan dengan Pak Tua tadi. Tidak tahu perasaan apa ini? Karena selama berdekatan dengan beliau, kemampuan penglihatan dan penciumanku tak berdaya. Bahkan kadang malah aku mencium bau anyir itu keluar dari bau tubuhku sendiri.
            “Lindu, kenapa kamu bisa nyasar sampai ke sini?.”
Tanya Pak Tua itu sambil berdiri tegak di sampingku. Waktu itu cuaca sudah menunjukkan waktu sore. Aku hanya terpaku, karena aku tak tahu kenapa dari pagi sampai sore itu Pak Tua tidak bekerja di proyek bangunan seperti biasanya. Malahan pak Tua itu hanya diam diri di kamarnya, sampai dia memanggilku dan dengan tutur kata yang halus dia menanyaiku.
            “Kamu tahu Lindu, sebenarnya ini bukan tempat kamu. Kamu tidak layak tinggal di sini. Ini tempatnya manusia seperti aku, bukan yang seperti kamu.”
Statement pak Tua membuat mataku merah. Seakan hatiku tak terima dikatakan seperti itu. Apakah aku bukan manusia seperti dia? kenapa aku tidak layak tinggal seperti mereka? Ah.. aku mencoba menahan emosi mudaku untuk mengetahui maksud yang ingin disampaikan pak Tua padaku.
            “Kamu harus enyah dari sini Lindu. Kedatanganmu di sini justru akan mendatangkan madlarat bagi mereka, dan tidak sama sekali membuat kemanfaatan bagi mereka.”
Apa-apaan ini?” Memoar amarahku dalam hati. Kemarahanku seakan sudah muntup-muntup sampai di ubun-ubun. Ingin segera meledak. Tapi, aku mencoba bersabar untuk tahu apa maksud dari perkataannya.
            “Mulai nanti lepas maghrib, kamu harus pergi dari sini. Tidak usah pamitan sama yang lain, malah menambah kemadlaratan untuk mereka nantinya. Kamu pergi, dan temui pengemis yang sering mangkal di pojokan terminal Lebak Bulus, yang berada di sebelah utara, malam ini. Sampaikan salamku, dan berikan surat ini kepada dia.” Begitu kata pak tua itu sambil mengacungkan selembar kertas putih berisi surat yang dibungkusnya rapat-rapat. Aku pun hanya berdiam. Dia berlahan mendekatiku, dan membuang surat itu di hadapanku. Kemudian dia berjalan dan menghilang di kegelapan malam. Sepatah kata pun tidak terucap dari bibirku, padahal amarahku memuncak, tetapi lidahku kelu oleh karisma suaranya.
***
            Hujan lebat mengguyurku saat aku menyusuri jalanan kota metropolitan, bak seorang gelandangan, bajuku yang compang-camping dan rambutku yang lusuh, serta tapak kakiku yang tanpa alas membuat setiap orang yang bersitatap denganku bermuka sinis kepadaku. Dan memandang kotor diriku. Seolah merekalah manusia yang paling suci di dunia ini. Kadang wajah mereka mengisyaratkan kepura-puraan, dengan baju yang serba putih, naik mobil mewah, tapi wajahnya hitam dan busuk seperti bangkai. Ah masa bodoh dengan mereka.. Toh, jalan mereka berbeda dengan aku. 
            Sampailah aku di terminal Lebak Bulus. Tatapanku langsung mengintai setiap sudut terminal yang dipenuhi gemuruh suara bus. Tubuhku terasa lesu. Ditambah hujan deras yang tak henti-hentinya. Kutemukan banyak sosok dalam kegelapan di bawah halte busway. Mungkinkah dia? Astaghfirullahal ‘adzim. Aku tak percaya, dari jauh sini saja aku mencium semerbak bau anyir dari tubuhnya. Aku mulai mendekat, masya Allah. Bencong. Gerombolan pengemis bencong.. Plakk.. Seakan tertampar mukaku. Susah payah aku berjalan menyusuri kota metropolitan, diguyur hujan deras, terseok-seok karena lesu tubuh. Ternyata dari bencong itu, yang jelas-jelas aku mencium bau anyir. Kenapa dia malah menjadi tujuanku? Umpatan-umpatan aku lontarkan sebagai wujud kekesalanku. Bajigur, diancuk, setan alas.
            Aku tidak percaya begitu saja dengan dugaanku kalau dia adalah orang yang aku cari. Aku sisir semua tempat di setiap sudut terminal. Tidak aku temukan satu-pun pengemis, kecuali para pengemis bencong tadi. Ah, hatiku masih dilanda gundah untuk menjustifikasi kalau salah satu dari gerombolan pengemis bencong itulah yang aku cari. Langkahku pelan berusaha mendekat, karena ragu menyelimuti hati dan pikiranku.
            Lima puluh meter dari jarak langkah kakiku ke gerombolan itu terasa jelas gelak suara tawa mereka, dan nyanyian-nyanyian yang tidak jelas juntrungnya. “Apa susahnya jadi bujangan.. Kemana-mana tiada yang larang.. yang penting hatinya senang.. “ Begitu ref lagu klasik yang aku nyanyikan.
            Mungkin bukan dari salah satu mereka yang menjadi tujuanku, hatiku ragu dan menuntun langkah kakiku untuk berbalik arah seratus delapan puluh derajat menjauh dari mereka. Mungkin tidak malam ini aku temukan pengemis yang dimaksud oleh Pak Tua. Boleh jadi besok. Ya, mungkin besok. Tapi baru sejengkal langkah, salah satu dari mereka memanggilku.
            “Hei Bro.. mau kemane ente? Tugas lom selesai mau kabur aje ente. Ente sok suci, sok bersih. Ente tuh yang penuh bau anyir, sombong ente, merasa sudah paling dekat dengan Tuhan. Dikasih nikmat dikit aje, laku lo seenak udelnya menghakimi jelek setiap orang yang ente cium baunya anyir.”
            Ya Allah, kenapa dia bisa tahu tentang aku. Padahal penampilanku yang aku tampakkan benar-benar seperti orang gila, yang pastinya orang awam jika melihatku akan berkata kalau aku lagi jadzab, lagi dimabuk cinta kepada sang Khalik. Omongan dia menyentak alam bawah sadarku. Terhempas tubuhku, ketika sepeda motor berlaju kencang menyrempet, sehingga aku terpental ke selatan dua meter menabrak kios rokok.
Brukk…
Ah, aku tak tahu setelah itu. Mungkin alamku sudah berubah. Apakah aku sudah mati? karena yang tampak hanyalah padang pasir yang luas lagi gersang. Tidak ada seorang pun kecuali aku, tapi suara itu aku kenal, ya suara itu. Si pengemis bencong.. rintihannya beristighfar kepada sang Khalik. Aku cari dimana arah suaranya.. kutemukan jasadnya dalam keadaan sujud.
“Lindu, kamu harus belajar berhusnuzan kepada setiap makhluk, karena mereka tercipta oleh takdir Sang Khalik. Laku amalmu akan sia-sia, jika kamu tidak bersyariat sebagaimana kekasih tercinta-Nya, Nabi ter-agung yang juga bersyariat. Semua yang di dunia ini masih kamuflase dan belum tampak kesejatiannya, untuk itulah jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh panca indramu yang bersifat fana.”
Aku terbangun, masya Allah itu tadi suara Pak Tua. Aku menangis tanpa tahu apa yang aku tangisi, sehingga seseorang datang kepadaku.
“Mas, sudah sadar ya?.. ini mas lagi di asrama kami, luka-luka luar yang mas derita sudah kami obati. O iya, maaf mas tidak sengaja saya temukan kertas ini di kantung baju sampeyan.”
Hem, sangat ramah sekali orang itu, di tangan kanannya memegang mushaf dan kaca mata yang dia lepas ketika berbicara kepadaku. Anehnya, kemampuan melihat dan menciumku yang seperti biasa tiba-tiba sirna. Apakah aku seperti manusia yang dulu lagi, tidak bisa melihat sinar atau kegosongan di wajah makhluk, serta tidak bisa mencium wangi atau busuk dari badannya.
“Terima kasih ya, pak. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, mas. Itu sudah menjadi tugas kita untuk saling tolong-menolong.”
Dengan raut wajah tersenyum aku membalas ucapannya. Perlahan aku membuka surat Pak Tua yang belum sempat aku berikan kepada Sang Pengemis Bencong yang ahli sujud.
  
Es adalah salah satu wujud eksistensi dari Air..
Jika mencair, Dia melebur menjadi Air..
Wujud eksistensi Es akan menjadi musnah, karena yang tampak hanyalah Air..
Jangan salahkan Es yang mencair, kalau dia mengaku menjadi Air..
Karena segala macam bentuk Es, pasti asalnya dan akhirnya juga menjadi Air..
Tapi ingat, kebekuan adalah syariatnya menjadi Es, dan janganlah sekali-kali berkata menjadi Air jika tidak benar-benar mencair..

Tubuhku terguncang, dan kembali jatuh tersungkur.. Air mataku tak terbendung lagi hingga membanjiri basah bajuku. Kamu benar Pak Tua..



            *Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Prguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta Asal Pati Jawa Tengah.

Menggagas Isu PTIQ Bercabang


Khoirul Anwar*

Pada acara mubes (Musyawarah Besar) yang diadakan oleh dewan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) pada tanggal 24 kemarin, menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan diajukan pada pihak Intstitut. Diantaranya, terkait isu yang sedang membara di telinga mahasiswa dan fresh graduate, yaitu terkait kabar bahwa PTIQ memiliki beberapa cabang.
            Untuk menyentuh masalah ini, sebenarnya sudah masuk pada pengamatan mahasiswa yang dimediatori oleh BEM. Tetapi, dari mahasiswa sendiri kurang begitu puas jika tidak mendapatkan respon sendiri dari pihak yayasan. Ketika pada mubes kemarin, isu pedas itu mendapat respon dan sekaligus diklarifikasi oleh Dr. Ali Nurdin, selaku Purek III di PTIQ.
            Menurutnya,  cabang kampus yang berdiri di beberapa tempat, seperti di Banten, Ciawi, Palu dan Batam, itu hanya khusus S2, dan S1 yang tarbiyah, serta PGRA dan PGSD. Selain hal itu, sistim pembelajaran juga diatur sebagaimana yang ditetapkan oleh pihak PTIQ pusat. Tetapi, mereka lebih ditekankan pada tahsin (Baca al-Quran), bukan tahfiz (Menghafal al-Quran).
            Mahasiswa menyanggah deklarasi yang diberikan oleh purek III. Karena, sebagaimana yang tertera dalam khittah PTIQ yang sejatinya tidak lain untuk mencetak generasi penghafal al-Quran, tidak hanya pandai membaca dengan suara bagus. Mahasiswa juga masih tidak melapangkan dada, jika hal itu masih saja dipelihara. Karena sama saja tidak menghargai eksistensi mahasiswa pusat yang harus berjuang mati-matian demi ikut semester.
            Kampus al-Quran yang dipimpin oleh wamenag Prof. Nasarrudin Umar itu, kini sedang dalam tahap rekomendasi kesepakatan yang melibatkan semua pihak. Karena selama ini tidak ada batas dan manajemen perkampusan yang jelas dan benar-benar dianggap klir oleh mahasiswa. Dr. Ali Nurdin berpesan agar mubes ini dijadikan pelajaran dan pegangan bersama. Sehingga, nantinya tidak ada saling senggol.
            Tetapi, acara mubes kali ini sangat disesalkan oleh mahasiswa. Karena, oknum yang dianggap memiliki peran penting terkait hal ini tidak menampakkan diri dalam mubes. Seperti rektor, dekan-dekan fakultas, lembaga tahfiz, dan sivitas akademika lainnya.


* Mahasiswa Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta

Laskar Penuda Berpikir



Kilas PTIQ

Kategori Lain »

Warta LAPER

Kategori Lain »

Tafsir

Hadits

Opini

Resensi

Surat Pembaca

 
Support : Remaja Kreatif | Laper | Fak.Ushuluddin
Copyright © 2011. MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir) - All Rights Reserved
Design by Order Website Murah
Proudly powered by meva