Wawancara bersama Prof. Chatibul Umam
PTIQ
didirikan pada tahun 71. Mulanya adalah yayasan Ihya Ulumuddin yang didirikan
oleh kiai Dahlan, menteri agama saat itu. Kiai Dahlan tergugah untuk membangun
yayasan itu karena melihat ulama-ulama yang sudah semakin langka. Maka tekat
bulatnya sangat kuat untuk mendirikan PTIQ ini. Namun, yayasan ini akhirnya diteruskan
oleh bapak Ibnu Sutowo yang memiliki YPA. Karena waktu itu pendanaan yayasan
Ihya Ulumuddin kurang kuat. Sehingga pada tahun 72 diserahkan kepada Ibnu
Sutowo. Kemudian dirubah menjadi YPA.
“Dan dulu satu-satunya yang menjadi corak bagi kampus ini karena tidak
ada yang namanya tahfis terbatas. Selain harus menggeluti matakuliah akademisi,
ya harus wajib menghafal. Bagi yang tidak kuat, pasti terhambat.” Bagitu kata Prof. Chatibul Umam saat
wawancara dengan timred di kantor Fakultas Dakwah. Artinya, kebijakan itu harus
ditempuh oleh seluruh mahasiswa yang ingin merampungkan kuliahnya. Maka 30 jus
merupakan perangkat wajib yang harus dimiliki bagi setiap mahasiswa untuk
menembus pada jenjang kesarjanaan. Dan bagi yang tidak mampu tahfis, mereka
sama saja tidak mampu meneruskan kuliah. Sehingga harus droup out.
“Banyak mahasiswa yang kuat hafalannya dan mampu merampungkan tugas kuliahnya
hingga selesai. Namun, ada juga mahasiswa yang akademisinya bagus, dan
hafalannya tidak bagus. Seperti Bpk Muammar ZA yang hafalannya kurang bagus, namun
suaranya bagus.”Tambah Prof. Chatibul Umam.
Begitupula ada alumni yang memiliki hafalan penuh dan bobot
intelektualnya tidak kalah dengan kulaitas alumni kampus lain. Seperti bapak
prof. Darwis Hudee. Beliau dengan tepat menyelesaikan hafalannya sampai 30 jus.
Sehingga dapat lulus di PTIQ dan meraih gelar sarjana muda kemudian meneruskan
doktoralnya di IAIN Jakarta.
Betah
di PTIQ.
Salah
satu saksi mata berdirinya PTIQ yang masih ada saat ini mengungkapkan sebab
dirinya masih betah di PTIQ. Beliau menuturkan bahwa yang menjadi sebab utama
memang karena jasa beliau masih dibutuhkan untuk mengajar di sini, khususnya di
pasca untuk mengajar Bahasa Arab.
Program S2 yang muncul dari buih ide terobosannya ketika menjadi
rektor, sehingga membuat begitu antusisnya Prof. Chatibul Umam untuk tetap
menjaga kualitas pasca hingga sekarang saat dirinya sudah harus pensiun. Hal
itu merupakan gagasan besar yang mampu dituangkannya untuk perkembangan PTIQ
ini. Meskipun saat itu beliau hanya mampu mewujudkan pasca S2 saja. Sebab saat itu belum memenuhi syarat untuk
membuka S3.
Untuk biaya memang tidak disinggung untuk bebas. Karena operasional
untuk perkampusan semakin mahal. Dan mengingat pula kampus ini belum mampu
menghasilkan operasional sendiri. Meskipun dulu memang seluruh mahasiswa dibebaskan
dari biaya kuliah. Bahkan diberi makan, seta dicucikan pakaiananya.
Rektor
Saat Ini
“Untuk
rektor sekarang ini memang sibuk dan jarang sekali kesini. Karena jadwalnya mungkin
padat selain disini.” Tutur Prof. Chatibul Umam. Maka untuk itu, prototipe untuk rektor yang akan datang diharapkan yang
dari alumni saja. Karena akan lebih melekat rasa memilikinya kampus. Dan yang
lebih cocok untuk menjabat menjadi rektor ialah yang sudah menyandang gelar
profesor.
Mengingat hanya satu orang dari alumni yang baru menjadai prof, yaitu
bapak Darwis. Satu-satunya alumni PTIQ yang sudah menjadi profesor. Sebelum pak
Nasaruddin Umar, sebenarnya Prof. Chatib sudah mencalonkan pak Darwis agar
menjadi rektor, karena akan lebih menuangkan jiwa kepengurusannya terhadap
almamater. Hingga saat ini pun pilihan beliau masih menilik pada profesor
Darwis untuk menjadi rektor. Dan dia juga mendorong agar semua dosen saat ini
lebih banyak mengarang. Karena itu merupakan bola lampu untuk menghantarkan
meraih gelar profesor.
Beliau juga mengharapkan untuk rektor yang akan datang supaya lebih
aktif, agar program perkampusan akan bisa lebih tertata.
Khoirul Anwar Afa