PEMIMPIN DALAM AL-QUR’AN - MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir)
Headlines News :
Home » » PEMIMPIN DALAM AL-QUR’AN

PEMIMPIN DALAM AL-QUR’AN

Wawancara dengan: Dr. Husnul Hakim, MA

1.      S:         Bagaimana Al-Qur’an menjelaskan sosok seorang pemimpin?
J:        Ada beberapa term yang digunakan Al-Qur’an yang bisa kita pahami maknanya adalah pemimpin. Pemimpin ini kan konotasinya banyak, ada pemimpin keluarga, ada pemimpin masyarakat, ada pemimpin politik dan ada juga pemimpin Negara. Nah, ini mau diarahkan kemana?. Kalau yang dimaksudkan adalah pemimpin Negara, ini tentu saja ada spesifikasi tersendiri, karena seorang pemimpin itu mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan di dalam masyarakat. Kalau kita pernah baca dalam buku “The Great Individual’s” yang menyatakan bahwa sejarah itu tentang riwayat hidup orang-orang besar, itu ungkapan Thomas Charlie kalau tidak salah.
Di dalam Al-Qur’an sendiri, pemimpin biasa diungkapkan dengan al-imam, malik, ada juga khalifah. Tetapi jika mengacu pada pemimpin sebuah Negara itu biasanya menggunakan “malik”, seperti dalam surat al-Baqarah.[1] Karena pemimpin dari sebuah negara menyangkut tentang kekuasaan. Berbeda kepemimpinan di dalam rumah tangga tidak menggunakan term itu. Makanya jika pemimpin itu yang dimaksudkan adalah pemimpin sebuah Negara, maka criteria seorang yang diungkapkan dalam al-Qur’an menjadi siginifikan, itu merupakan nilai-nilai universal. Ketika al-Qur’an mengatakan, “Kenapa Thalut yang diangkat, kenapa tidak ada yang lain.” Sebenarnya Thalut punya kualifikasi “bashthatan fil-‘ilm wal-jism.”

2.      S          : Bagaimana criteria pemimpin yang ideal menurut al-Qur’an?
J         :Masalah kriteria, itu banyak sekali, namun kriterian yang paling dasar mestinya akhlaknya baik. Kalau jujur, adil dan sebagainya itu sudah menjadi kriteria umum. Tetapi kalau kita mengacu pada ayat yang saya sebutkan tadi, “bashthatan fil-‘ilm wal-jism.”
Pertama dia mempunyai keluasan ilmu, yang dimaksud di sini ini bukan identik dengan titel kesarjanaan, tetapi dia bisa menguasai masalah. Contohnya adalah Rasulullah yang tidak pernah sekolah atau punya gelar kesarjanaan, akan tetapi beliau mempunyai “bashthatan fil-‘ilm” atau dalam arti kecerdasan sehingga dia bisa menguasai masalah. Hal ini harus ada dalam seorang pemimpin, karena dibutuhkan untuk merespon dan memberikan solusi setiap masalah yang dihadapi.
Kalau pada masa Thalut, “bashthatan fil-‘ilm” digunakan untuk membuat strategi perang untuk itulah kecerdasan seorang pemimpin diperlukan di sini, karena pada masa itu pemimpin sekaligus menjadi komandan perang. Tetapi kalau pada masa sekorang, “bashthatan fil-‘ilm” itu digunakan untuk mengolah Negara, jadi dia harus mempunyai pengetahuan tentang hal itu.
Yang kedua adalah “fil-jism”, karena pada waktu itu memang yang dibutuhkan adalah fisik yang kuat. Kemudian, bagaimana criteria ini dikontekstualisasikan kepada Negara Indonesia saat ini misalnya yang kepemimpinannya kolektif, presidensial. Artinya, kepemimpinan itu tidak hanya pada presiden saja. Jadi kekuatan dan kesehatan jasmani saya memahami bahwa dia siap menjalankan tugas Negara sesulit apapun pantang mengeluh. Cuma ada prediksi Rasulullah begini, nanti di akhir zaman itu kamu akan memilih antara yang pinter dan kuat tapi moralnya bejat, dengan moralnya baik tapi pengetahuannya tidak begitu mendalam atau bisa dikatakan lemah, maka kata Rasulullah pilihlah yang lemah tapi moralnya baik. Jadi pemimpin syarat mutlaknya adalah memiliki akhlak yang baik.
3.      S          :
Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwasanya salah satu diantara tujuh yang mendapatkan naungannya Allah swt di akherat adalah pemimpin yang adil. Apakah yang dimaksudkan hadits tersebut, kriterianya adalah pemimpin yang adil, tapi juga muslim?
J           :
            Kalau nanti di akherat iya, karena ini menyangkut theologies. Kalau dia ingin mendapatkan naungan di akherat, iman harus ada. Makanya hadits tersebut harus diarahkan kepada umat Islam, artinya jika kamu jadi muslim dan jadi pemimpin, kira-kira seperti itu. Tetapi kepemimpinan masyarakat di dunia, mestinya tidak ada hubungannya dengan agama, keadilan itu adalah hokum kosmos, hokum umum.
            Keadilan jika dikaitkan dengan akherat, mau tidak mau iman dan islam harus ada di sana. Karena ajaran kita mengajarkan, “walau asyraku lahabitha a’malahum.” Namun jika kita berfikir Cuma di dunia, yang penting bagaimana dia bisa berbuat adil.
            Maksudnya adalah, jika kamu pemimpin yang islam, maka berlakulah adil. Kalau kamu tidak bisa adil, maka kamu tidak akan mendapat naungan kelak di akherat.

4.      S          :
Contoh misal, jika suatu komunitas yang mayoritasnya adalah muslim, tetapi dipimpin oleh nashrani, apakah berlaku juga "athi’ullah, wa athi’ur rasula, wa ulil amri minkum”?
J           :
            Pertama kita pahami ayat itu bahwa, yang dimaksud ulil amri adalah orang yang dibebankan kepada dirinya urusan umat. Makanya pada ayat itu tidak ada pengulangan wa athi’u ulil amri minkum. Karena ketaatan pada pemimpin itu dikaitkan kepada hal-hal yang tidak melanggar perintah Allah dan rasul-Nya. Jika sudah menyangkut ulil amri, ini masalah kebijakan. Karena bisa saja dia orang baik, tapi kebijakannya buruk. Makanya dalam sebuah riwayat dijelaskan, la tha’ata li makhluq fi ma’shiyatil khaliq.
            Jika misalkan dia diangkat menjadi pemimpin karena kredibilitasnya, dan aturannya tidak menyalahi aturan Allah dan rasul-Nya, apa salahnya kalau kita mentaatinya?.. karena kebenaran itu nilainya universal, persoalannya adalah kebenarannya itu bernilai atau tidak itu masalah iman. Orang non muslim sekalipun dia punya kebenaran, teori adil maupun jujur. Ajaran kita mengajarkan Iahabitha ‘anhum a’malahum, tapi kalau masalah ketaatan, selama tidak melanggar agama kenapa tidak?..
            Tidak usah jauh-jauh sama pemimpin, misalnya dalam kehidupan kemasyarakatan. Seandainya yang nyuruh itu orang non muslim, perintahnya baik. Kita tidak mungkin mengatakan, tidak mau karena kamu non muslim kok.

5.      S          :
Tetapi dalam Surat Al-Maidah ayat 51 dijelaskan:
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr&
            Menurut Bapak bagaimana?
J           :
            Kata wali itu pada mulanya, dia adalah posisi yang dekat dengan kita. Yang ingin saya jelaskan terlebih dahulu adalah begini, ada tiga term yang digunakan al-Qur’an yang sebenarnya arahnya sama, Ahl al-kitab, alladina utu al-kitab, dan yahudi wan nashara. Cuma kecenderungannya kalau alladzina utu al-kitab itu baik, beda kalau yahudi dan nashara pasti konotasinya buruk. Kalau berdasarkan pemahaman ini, mestinya kata tersebut mengenai tentang penyebutan perilaku atau sifat yang dimiliki. Makanya ketika ayat tersebut jika difahami hanya yahudi dan nashrani saja atau beragama selain Islam tentunya kita akan terjebak, bagaimana kalau hindu atau budha?..
            Saya lebih memahami bahwa, penyebutan yahudi dan nashrani ini lebih condong kepada sikap kemasyarakatan, karena yahudi dan nashrani itu ahl al-kitab juga. Tapi kenapa pada ayat tersebut tidak menggunakan Ahl al-kitab dan alladina utu al-kitab, menurut saya penggunaan kata yahudi dan nashara itu spesifik, kalau begitu saya akan menggunakan kaidah al-ibrah bikhushusis sabab la bi’umumil lafdzi”. Artinya yang dikehendaki yahudi dan nashrani ini adalah sifat-sifatnya yang menentang Islam. Kalau kita menggunakan bi’umumil lafdzi, kita akan terjebak. O.. dia budha kok, dia konghucu, atau bahkan dia tidak beragama kok, jadi dia tidak termasuk dalam ayat itu.          Tapi jika menggunakan bikhushusis sabab, kalau ada criteria-kriteria yang dimiliki sama dengan yahudi dan nashara maka jangan jadikan dia awliya’.
            Sebenarnya, awliya’ itu pada awalnya bukan pemimpin maksudnya. Karena tidak ada dalam sumber-sumber Islam, tafsir maksud saya, yang memasukkan wali menjadi term yang menunjukkan pemimpin. Imam, khalifah, malik, tapi wali tidak termasuk. Karena wali itu sebenarnya bukan pemimpin, tapi dia adalah posisi yang terdekat dengan kita. Contoh misal seorang anak, jika orang tuanya sudah tidak ada, maka kita akan tanyakan siapa walinya?.. Kalau kita kemudian menunjukkan, walinya si A. Maka, tentunya si A adalah orang bukan sembarangan atau dia orang yang terdekat dengan si anak.
            Kalau ada perkataan, Allahu waliyyul mu’minin, kemudian apakah kita akan mengatakan kalau Allah adalah pemimpin orang-orang mu’min?.. atau pada ayat, ala inna awliyaallahi la khaufun wala yahzanun.. kalau ini diartikan pemimpin, maka semua wali itu harusnya juga diartikan pemimpin. Tapi, yang dimaksud wali di sini adalah posisi yang terdekat. Kenapa Allah melarang, karena jika sifat-sifat atau perilakunya tidak baik, maka suatu ketika dia akan menusuk kamu dari belakang.
            Jadi, maksud ayat ini adalah: “jangan kamu jadikan orang-orang yang mempunyai sifat yahudi dan nashrani sebagai orang yang posisinya dekat dengan kamu.”

6.      S          :
Jika studi kasus pada PilGub Jakarta kemarin, yang dimenangkan oleh Jokowi dan Ahok, pelajaran apa yang dapat kita ambil?

J           :
            Kemarin itu ada sebuah komentar begini, “mestinya milihnya itu yang Islam.” Lho komentar ini sebenarnya salah, apakah Jokowi bukan orang Islam?.
            Kemudian saya jawab, seharusnya hal ini menjadi koreksi bagi para pemimpin supaya yang islami. Bisa saja secara theologies Islam, tapi perilakunya tidak Islami. Artinya, rakyat lebih percaya kepada sosok pemimpin yang Islami daripada pemimpin yang Islam saja. Sekarang kita lihat saja, apakah Jokowi itu bisa Islami atau tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
            Islami itu ukurannya begini, lebih mementingkan rakyatnya daripada dirinya. Karena risalah itu mengerucut pada dua hal, memberikan cara bagaimana bisa dekat dengan Tuhan, yang kedua adalah bagaimana risalah itu memberikan dukungan atau keberpihakan bagi kaum yang lemah. Hal ini disebut theologi pembebasan namanya, atau fakku raqabah. Maka pemimpin apapun yang tidak bisa seperti itu, tidak Islami. Pemimpin ini ukurannya pada rakyatnya, bukan dia taat ibadah, rajin shalat, berapa kali haji atau sebagainya.
Oleh: Mohammad Samsul Hadi




[1]  Ayat 246-247
Share this article :
 
Support : Remaja Kreatif | Laper | Fak.Ushuluddin
Copyright © 2011. MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir) - All Rights Reserved
Design by Order Website Murah
Proudly powered by meva