Oleh: Mohammad
Syamsul Hadi*
Aku
tak tahu, setelah musafirku ke makam-makam awliya’ membuat jantungku
berdetak kencang dan bulu kudukku berdiri kaku. Seolah mataku tertunduk tidak kuat melihat
karisma dari nur yang terpancar dari seorang kiyai yang sering aku jumpai. “Apakah ini nikmat, ataukah cobaan berbentuk istidraj?” Aku tak tahu. Cuma saja, hanya kepada
kiyai tertentu aku bertindak seperti ini. Malahan, ketika aku berhadapan dengan kiyai
yang hanya kerjanya saja sebagai kiyai. Akan tetapi laku hidupnya tidak
mencerminkan dirinya pewaris Nabi. Aku bisa mencium bau anyir dari tubuhnya,
dan aku bisa melihat mukanya gosong seperti terbakar di atas tungku pembakaran
sate. Anehnya lagi, ketika aku benar-benar berhadapan dengan seorang pekerja
kasar seperti petani, tukang batu, sopir angkot, penjual es keliling, kadang
wajahku berkerut merasa takjub. Apa amal ibadah mereka, sehingga aku melihat
wajah mereka nyaris tak ada celah noda hitam seperti kulit mereka yang hitam
berkilauan karena saking seringnya tertimpa sinar matahari. Tetapi yang nampak malah cahaya teduh, bau yang semerbak harum. “Ah, apakah mataku yang sudah merabun? Ataukah penciumanku yang sudah rusak? Buktinya
tidak semua mereka yang kulihat seperti yang kurasa.”
Sempat
aku berpikir, mungkin ini nikmat yang diberikan Allah swt untukku karena laku
tirakatku selama musafir di makam-makam awliya’. Tetapi semua menjadi
berubah, ketika aku berjumpa dengan seorang kuli bangunan di daerah Jembatan
Lima. Dia seorang tukang batu, perantauan dari kampung daerah pesisir utara
pulau Sumatera. Umurnya yang sudah tua. Mungkin dalam hatiku berkata kalau umurnya baru sekitar setengah abad. Tetapi dugaanku itu
terbantahkan ketika aku tahu dari temannya kalau beliau sudah 70-an tahun bahkan
lebih. Karena pernah SatPol PP, menggusur daerah kontrakan mereka di daerah
Jembatan Lima, kemudian mengidentifikasi mereka satu per-satu, termasuk
menanyakan masalah umur. Hatiku sering gundah ketika diriku berdampingan dengan Pak Tua tadi. Tidak tahu perasaan apa ini? Karena selama berdekatan dengan beliau, kemampuan penglihatan dan
penciumanku tak berdaya. Bahkan kadang malah aku mencium bau anyir itu keluar
dari bau tubuhku sendiri.
“Lindu,
kenapa kamu bisa nyasar sampai ke sini?.”
Tanya Pak Tua itu sambil berdiri tegak di sampingku. Waktu itu cuaca sudah
menunjukkan waktu sore. Aku hanya
terpaku, karena aku tak tahu kenapa dari pagi sampai sore itu Pak Tua tidak bekerja di proyek
bangunan seperti biasanya. Malahan pak Tua
itu hanya diam diri di kamarnya, sampai dia memanggilku dan dengan
tutur kata yang halus dia menanyaiku.
“Kamu
tahu Lindu, sebenarnya ini bukan tempat kamu. Kamu tidak layak tinggal di sini.
Ini tempatnya manusia seperti aku, bukan yang seperti kamu.”
Statement pak Tua membuat mataku merah. Seakan hatiku tak terima dikatakan seperti itu. Apakah aku bukan manusia seperti
dia? kenapa aku tidak layak tinggal seperti mereka? Ah..
aku mencoba menahan emosi mudaku untuk mengetahui maksud yang ingin disampaikan
pak Tua padaku.
“Kamu
harus enyah dari sini Lindu. Kedatanganmu di sini justru akan mendatangkan madlarat bagi mereka, dan tidak sama sekali membuat kemanfaatan bagi
mereka.”
“Apa-apaan ini?” Memoar
amarahku dalam hati. Kemarahanku seakan sudah muntup-muntup sampai di ubun-ubun. Ingin segera meledak. Tapi, aku mencoba bersabar untuk tahu apa maksud dari perkataannya.
“Mulai
nanti lepas maghrib, kamu harus pergi dari sini. Tidak usah pamitan sama yang
lain, malah menambah kemadlaratan untuk mereka nantinya. Kamu pergi, dan temui
pengemis yang sering mangkal di pojokan terminal Lebak Bulus, yang berada di sebelah utara, malam ini. Sampaikan salamku,
dan berikan surat ini kepada dia.”
Begitu kata pak tua itu sambil mengacungkan selembar kertas putih berisi surat
yang dibungkusnya rapat-rapat. Aku pun hanya berdiam. Dia berlahan
mendekatiku, dan membuang surat itu di hadapanku. Kemudian dia berjalan dan
menghilang di kegelapan malam. Sepatah kata pun tidak terucap dari bibirku,
padahal amarahku memuncak, tetapi lidahku kelu oleh karisma suaranya.
***
Hujan
lebat mengguyurku saat aku menyusuri jalanan kota metropolitan, bak seorang
gelandangan, bajuku yang compang-camping dan rambutku yang lusuh, serta tapak
kakiku yang tanpa alas membuat setiap orang yang bersitatap denganku bermuka
sinis kepadaku. Dan memandang
kotor diriku. Seolah merekalah manusia yang paling suci di dunia ini. Kadang wajah mereka
mengisyaratkan kepura-puraan, dengan baju yang serba putih, naik mobil mewah,
tapi wajahnya hitam dan busuk seperti bangkai. Ah… masa bodoh dengan mereka.. Toh, jalan
mereka berbeda dengan aku.
Sampailah
aku di terminal Lebak Bulus. Tatapanku
langsung mengintai setiap sudut terminal yang
dipenuhi gemuruh suara bus. Tubuhku terasa lesu. Ditambah hujan deras yang tak henti-hentinya. Kutemukan banyak sosok dalam kegelapan di bawah halte
busway. Mungkinkah dia? Astaghfirullahal ‘adzim. Aku tak percaya, dari
jauh sini saja aku mencium semerbak bau anyir dari tubuhnya. Aku mulai
mendekat, masya Allah. Bencong. Gerombolan pengemis bencong.. Plakk..
Seakan tertampar mukaku. Susah payah aku berjalan menyusuri kota metropolitan,
diguyur hujan deras, terseok-seok karena lesu tubuh. Ternyata dari bencong itu, yang jelas-jelas aku mencium bau anyir. Kenapa dia malah menjadi tujuanku? Umpatan-umpatan aku lontarkan sebagai wujud kekesalanku. “Bajigur, diancuk, setan alas.”
Aku
tidak percaya begitu saja dengan dugaanku kalau dia adalah orang yang aku cari.
Aku sisir semua tempat di setiap sudut terminal. Tidak aku temukan satu-pun
pengemis, kecuali para pengemis bencong tadi. “Ah, hatiku masih dilanda gundah untuk
menjustifikasi kalau salah satu dari gerombolan pengemis bencong itulah yang
aku cari. Langkahku pelan berusaha mendekat, karena ragu menyelimuti hati dan pikiranku.”
Lima
puluh meter dari jarak langkah kakiku ke gerombolan itu terasa jelas gelak
suara tawa mereka, dan nyanyian-nyanyian yang tidak jelas juntrungnya.
“Apa susahnya jadi bujangan.. Kemana-mana tiada yang larang.. yang penting hatinya
senang.. “ Begitu ref lagu klasik yang aku nyanyikan.
Mungkin
bukan dari salah satu mereka yang menjadi tujuanku, hatiku ragu dan menuntun
langkah kakiku untuk berbalik arah seratus delapan puluh derajat menjauh dari
mereka. Mungkin tidak malam ini aku temukan pengemis yang dimaksud oleh Pak Tua. Boleh jadi besok. Ya, mungkin besok. Tapi baru sejengkal langkah, salah satu
dari mereka memanggilku.
“Hei
Bro.. mau kemane ente? Tugas lom selesai mau kabur aje ente. Ente sok suci, sok
bersih. Ente tuh yang penuh bau anyir, sombong ente, merasa sudah paling dekat
dengan Tuhan. Dikasih nikmat dikit aje, laku lo seenak udelnya menghakimi jelek
setiap orang yang ente cium baunya anyir.”
“Ya Allah, kenapa dia bisa tahu tentang aku. Padahal penampilanku yang aku
tampakkan benar-benar seperti orang gila, yang pastinya orang awam jika
melihatku akan berkata kalau aku lagi jadzab, lagi dimabuk cinta kepada
sang Khalik. Omongan dia menyentak alam bawah sadarku. Terhempas tubuhku,
ketika sepeda motor berlaju
kencang menyrempet, sehingga aku terpental ke selatan dua meter menabrak kios
rokok.
Brukk…
Ah, aku tak tahu setelah itu. Mungkin alamku sudah berubah. Apakah aku sudah mati? karena yang tampak hanyalah padang pasir yang
luas lagi gersang. Tidak ada seorang pun kecuali aku, tapi suara itu aku kenal,
ya suara itu. Si pengemis bencong.. rintihannya beristighfar kepada sang
Khalik. Aku cari dimana arah suaranya.. kutemukan jasadnya dalam keadaan sujud.
“Lindu, kamu harus belajar berhusnuzan kepada setiap makhluk, karena mereka
tercipta oleh takdir Sang Khalik. Laku amalmu akan sia-sia, jika kamu tidak
bersyariat sebagaimana kekasih tercinta-Nya, Nabi ter-agung yang juga bersyariat. Semua
yang di dunia ini masih kamuflase dan belum tampak kesejatiannya, untuk itulah
jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh panca indramu yang bersifat fana.”
Aku terbangun, masya Allah itu tadi suara Pak Tua. Aku
menangis tanpa tahu apa yang aku tangisi, sehingga seseorang datang kepadaku.
“Mas, sudah sadar ya?.. ini mas lagi di asrama kami,
luka-luka luar yang mas derita sudah kami obati. O iya, maaf mas tidak sengaja
saya temukan kertas ini di kantung baju sampeyan.”
Hem, sangat ramah sekali orang itu, di tangan kanannya
memegang mushaf dan kaca mata yang dia lepas ketika berbicara kepadaku.
Anehnya, kemampuan melihat dan menciumku yang seperti biasa tiba-tiba sirna.
Apakah aku seperti manusia yang dulu lagi, tidak bisa melihat sinar atau
kegosongan di wajah makhluk, serta tidak bisa mencium wangi atau busuk dari
badannya.
“Terima kasih ya, pak. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, mas. Itu sudah menjadi tugas kita untuk saling
tolong-menolong.”
Dengan raut wajah tersenyum aku membalas ucapannya.
Perlahan aku membuka surat Pak Tua yang belum sempat aku berikan kepada Sang
Pengemis Bencong yang ahli sujud.
Es adalah
salah satu wujud eksistensi dari Air..
Jika
mencair, Dia melebur menjadi Air..
Wujud
eksistensi Es akan menjadi musnah, karena yang tampak hanyalah Air..
Jangan
salahkan Es yang mencair, kalau dia mengaku menjadi Air..
Karena
segala macam bentuk Es, pasti asalnya dan akhirnya juga menjadi Air..
Tapi
ingat, kebekuan adalah syariatnya menjadi Es, dan janganlah sekali-kali berkata menjadi Air jika tidak benar-benar mencair..
Tubuhku terguncang, dan kembali jatuh tersungkur.. Air
mataku tak terbendung lagi hingga membanjiri
basah bajuku. Kamu
benar Pak Tua..
*Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin Institut
Prguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta Asal Pati Jawa Tengah.