Islam sang Merah Putih - MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir)
Headlines News :
Home » » Islam sang Merah Putih

Islam sang Merah Putih


Oleh: Ayatullah Muntadzor
Mahasiswa Fak.Ushuluddin
Institut PTIQ Jakarta Asal Madura

                Ketika ada seorang berjenggot tebal, berhiaskan surban di kepala dan berbaju gamis bak seorang syeikh dari Arab, spontan dalam benak kita terbayang dia adalah seorang ulama dengan kemampuan agama luar biasa. Namun prespektif berbeda terjadi ketika melihat seorang berbaju batik dengan blangkon unik menutupi rambutnya, spontan terbayang dalam benak kita dia adalah seorang seniman, petani, rakyat jelata atau mungkin seorang pembantu rumah tangga seperti dalam tayangan film-film sinetron. Seperti ini kah cara masyarakat Indonesia menghargai budayanya? Bahkan mengherankan ketika hal ini disorot dalam prespektif agama Islam, seakan menimbulkan kesan Islam tak mampu menjadi agama orang Indonesia bersama dengan segala keragaman budayanya. Islam masih di pandang sebagai agama orang Arab, sehingga orang Indonesia yang beragama islam harus berpenampilan dan berbudaya ala Arab. hal ini jelas bertentangan dengan tujuan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, artinya ia adalah agama yang mampu diaplikasikan nilai-nilainya dalam segala macam corak adat dan budaya manusia, termasuk Indonesia. Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107:
 “… dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
            Beberapa ada yang beralasan memakai baju gamis dan surban dalam beribadah adalah mengikuti sunnah Rasul. Namun jika mau sedikit berpikir rasional, bukankah orang-orang kafir Quraisy seperti Abu Lahab & Abu Jahal juga mengenakan baju gamis. Lantas kenapa itu tidak juga disebut sebagai sunnah Abu Lahab atau pun Abu Jahal? Disini perlu dibedakan antara sunah dan budaya. Karena kebiasaan Rasul mengenakan baju gamis dan surban adalah bagian dari budaya Arab tempat dimana beliau hidup dan bersosialisasi sehari-hari. Justru ini adalah bukti bahwa islam yang awalnya adalah agama baru bagi masyarakat Arab, namun ternyata mampu beradaptasi dan diterima oleh budaya mereka tanpa harus merusak atau menghilangkannya. Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Beragama ala Indonesia merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk segera ditanamkan dalam paradigma masyarakat Indonesia guna melestarikan budaya dan menghilangkan hegemoni budaya arab dalam ritual beragama kita.
            “Kiyai” merupakan salah satu tokoh nasional yang harus kembali dijadikan rujukan dalam membangun peradaban Islam ala Indonesia. Peran ulama’ pribumi dalam kehidupan beragama masyarakat seakan juga mulai tergusur oleh hegemoni ulama’-ulama’ arab yang dewasa ini semakin membumi di bumi pertiwi ini. Hal ini jelas ironi ketika permasalahan suatu bangsa ditangani oleh orang-orang yang bukan berasal dari bangsa tersebut, karena Allah telah memberikan gambaran bahwa permasalahan suatu bangsa akan lebih bijak dan mudah diatasi bila yang mengatasinya adalah orang-orang pribumi itu sendiri. Hal ini telah disampaikan Al-Qur’an melalui pesan-pesan yang terkandung dalam samudra ayatnya ,bagaimana setiap pemimpin dan nabi-nabi terdahulu yang diutus kepada suatu kaum tidak lain juga berasal dari bagian kaum tersebut. Nabi Hud bagian dari golongan kaum ‘Ad, Nabi Shalih dari kaum Tsamud, dll. Allah berfirman dalam QS. Hud ayat 50 & 61:
“ dan kepada kaum 'Ad (kami utus) saudara mereka, Huud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. kamu hanyalah mengada-adakan saja. "
“dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Patut dicontoh bagaimana langkah para wali songo (ulama’ pribumi) dalam menyebarkan ajaran islam di bumi pertiwi ini. Mereka berdakwah dengan menggunakan media budaya yang selama ini telah ada, sehingga islam bisa sangat mudah diterima oleh masyarakat karena ia menjadi agama yang mengantarkan mereka pada kebenaran, namun tidak merusak dan menghilangkan budaya yang telah menjadi khas masyarakat Indonesia. Para wali songo tidak pernah sibuk  mengeluarkan fatwa Wayang itu “Bid’ah”, tapi sibuk bagaimana memanfaatkan sesuatu yang mungkin menurut sebagian orang sekarang “Bid’ah”, menjadi sesuatu yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan As-Sunnah.
Hal ini sangat bertentangan dengan kondisi islam di Indonesia saat ini yang sudah banyak meninggalkan fatwa ulama’ pribumi dan banyak terkontaminasi dengan doktrin-doktrin dari luar yang cenderung radikal bahkan “sekuler”. Sehingga sedikit-sedikit dengan mudahnya mengasumsikan sesuatu yg telah menjadi budaya baik, namun karena tidak pernah ada dan dicontohkan di zaman Rasul dikatakan “Bid’ah”. Emangnya lu hidup di zaman rasul? Sekarang udah 2013 men. . . .!!.

Islam adalah agama yang fleksibel. Senantiasa bisa diterima dalam segala zaman tanpa harus merusak dan menghilangkan adat dan budaya yang tren saat itu. Islam selalu membawa nilai-nilai yang mampu menjadikan budaya suatu masyarakat menjadi tak sekedar budaya, namun juga menjadi alat Hablun Minallah wa Hablun Minannas (Hubungan dengan Allah dan Hubungan dengan Manusia). Sehingga beragama ala Indonesia pun merupakan hal yang harus segera kembali dihidupkan dalam ritual beragama kita, karena 
Share this article :
 
Support : Remaja Kreatif | Laper | Fak.Ushuluddin
Copyright © 2011. MAJALAH LAPER (Laskar Pemuda Berpikir) - All Rights Reserved
Design by Order Website Murah
Proudly powered by meva